Seorang anak laki-laki sedang mandi di sebuah mata air di Teluk Dalam, Nias, beberapa hari setelah gempa dahysat meluluhlantakkan pulau itu pada Februari 2005.
Kondisi kebersihan air dan lingkungan di sebagian besar daerah di Indonesia masih sangat buruk. Situasi ini menyebabkan tingginya kerawanan anak terhadap penyakit yang ditularkan lewat air. Pada 2004, hanya 50 persen penduduk Indonesia yang mengambil air sejauh lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran. Ukuran ini menjadi standar universal keamanan air. Di Jakarta, misalnya, 84 persen air dari sumur-sumur dangkal ternyata terkontaminasi oleh bakteri faecal coliform.
Secara praktis masalah kebersihan menjadi tidak kondusif karena masyarakat memang selalu tidak sadar akah hal tersebut. Tempat pembuangan kotoran tidak dipergunakan dan dijaga dengan baik. Akibatnya masalah diare, penyakit kulit, penyakit usus dan penyakit lain yang disebabkan air sering menyerang golongan keluarga ekonomi lemah. Upaya mengembangkan kesehatan anak secara umum pun menjadi terhambat. Fakta ini terjadi khususnya di daerah bekas bencana tsunami di Aceh dan Sumatra Utara.
Disamping akses air bersih yang buruk, situasi kebersihan air dan lingkungan diperparah oleh kegagalan penyuluhan bagi masyarakat kelas bawah dan mereka yang tinggal di daerah kumuh untuk berperilaku bersih. Bahkan penyediaan air minum yang bersih pun belum secara serius dijadikan prioritas pembangunan di Indonesia terutama di tingkat propinsi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar